Senin, 25 Mei 2009

Praktek Bersama (Apoteker & Dokter)

Diskusi tentang fenomena apotek tanpa resep dan dokter dispensing mengerucut pada usulan dan pertanyaan dari sejawat Dr Budiarto sebagai berikut “ Yth. Apoteker, untuk menyelesaikan masalah ini, saya mengusulkan : jika seorang dokter (dispensing) melakukan praktek, mempunyai pasien lebih dari 30 perhari, harus mempunyai seorang apoteker, ..bagaimana pendapat bapak ? “. Usulan tersebut diajukan melalui tulisan
Menurut pendapat saya, usulan tersebut merupakan sebuah bentuk legalisasi atas praktek dokter dispensing di daerah yang terjangkau oleh apotek. Tapi dilain pihak bisa juga sebaliknya, yaitu legalisasi apotek tanpa resep. Apotek tertentu yang secara ekonomis telah sehat bisa saja menyediakan layanan dokter (cuma-cuma) untuk meresepkan obat yang dibutuhkan konsumen yang datang ke apotek untuk membeli obat daftar G.
Bila mengacu pada pendapat saya diatas, mohon maaf, saya kok merasakan bahwa istilah legalisasi tidak lebih dari upaya membenarkan sesuatu yang salah ya ? Isinya tetap namun bungkusnya diubah, jadi begitu bungkusnya terbuka isinya sami mawon. Iya kan…?
Esensi dokter menuliskan resep dan kemudian apotek menyediakan obat sesuai permintaan tertulis dokter dalam resep adalah untuk memastikan kualitas pelayanan kesehatan seorang pasien. Dokter memilihkan obat yang sesuai yang dibutuhkan pasien atas dasar diagnosa yang ditegakkan.

Apoteker di apotek bertanggungjawab untuk memeriksa kebenaran dan kerasionalan resep yang diterimanya. Pemisahan aktivitas tersebut merupakan cara yang efektif bagi proses penjaminan kualitas untuk sebesar-besarnya keuntungan pasien.
Kolaborasi dokter - apoteker dengan demikian merupakan hal yang mutlak diperlukan demi tercapainya kualitas layanan yang optimal bagi pasien. Dalam konteks ini agar bentuk kolaborasi yang terjadi benar-benar bisa bebas nilai maka kedua belah pihak, baik dokter maupun apoteker, haruslah sama sama tidak memiliki konflik kepentingan. Hal yang mudah ditulis dan diucapkan tapi belum tentu mudah dipraktekkan.

Sebagai misal bisa kita lihat contohnya di rumah sakit. Bila tidak ada program standarisasi obat bisa dibayangkan berapa besar gudang yang dibutuhkan oleh instalasi farmasi untuk menyimpan obat-obatan yang digunakan. Juga berapa besar modal kerja yang mesti dibutuhkan rumah sakit.

Program standarisasi obat di rumah sakit antara lain bertujuan untuk mengendalikan banyaknya jenis dan merek obat yang digunakan oleh rumah sakit. Pertanyaannya, apakah dalam proses standarisasi bisa dijamin bebas konflik kepentingan ?
Dalam konteks serupa, praktek dokter-apoteker dalam satu atap adalah miniatur dari rumah sakit. Demi efisiensi apotek, rasanya hampir tidak mungkin keduanya tidak saling “sepakat” untuk menentukan jenis dan jumlah obat yang harus disediakan oleh apotek.
Apakah ini salah ? Tidak selalu, sepanjang unsur objektifitas tetap dijunjung tinggi.
Dengan ilustrasi demikian nampaklah bahwa legalisasi dokter dispensing maupun apotek tanpa resep bukanlah penyelesaian terhadap kesemrawutan sistem yang ada. Salah satu penyebabnya adalah masih terbatasnya penerapan asuransi kesehatan di negara kita. Karena mayoritas masyarakat membayar sendiri biaya pengobatannya, maka disitulah sumber segala kesempatan berawal.
dari PORTAL APOTEKER Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar