Senin, 25 Mei 2009

Peredaran Obat Palsu Tembus Jaringan Resmi Farmasi

Peredaran obat palsu di Jawa Tengah saat ini ditengarai sedang menggejala. Meskipun jumlahnya tidak terlampau besar, namun peredaran obat palsu mampu menembus jaringan farmasi yang resmi. Demikian diungkap oleh Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan Jawa Tengah, Maringan Silitonga.“Salah satu contohnya, kita sempat menemukan vaksin palsu di Karanganyar beberapa waktu lalu,” kata Maringan Silitonga.
Vaksin palsu tersebut diedarkan oleh salah satu perusahaan perdagangan besar farmasi berinisial D. Akibatnya, Balai POM Jawa Tengah terpaksa mencabut ijin operasi perusahaan tersebut semenjak dua minggu lalu untuk mempermudah proses pemeriksaan.Parahnya, obat yang paling sering dipalsukan merupakan obat yang hanya bisa dibeli dengan resep dokter. “Untuk obat bebas kita justru belum pernah menemukan,” kata Maringan. Yang menghawatirkan, obat palsu tersebut ternyata juga diedarkan oleh pedagang farmasi yang resmi.
Menurut Maringan, kemungkinan pedagang farmasi tersebut membeli obat-obatan dari distributor yang tidak resmi.“Mereka tergiur oleh harga yang lebih murah,” kata Maringan memperkirakan alasan perusahaan farmasi membeli obat palsu dari distributor yang tidak resmi. Peredaran akan semakin marak jika stok obat asli yang dipalsukan dipasaran sedang dalam keadaan kosong atau menipis. Maringan menyebutkan, jenis obat yang paling sering dipalsukan merupakan obat antibiotik, obat antibakteri dan penghilang nyeri dan rematik.Sayangnya, Maringan tidak menyebut jumlah peredaran obat palsu secara pasti. “Sebenarnya jumlahnya hanya sedikit,” kata Maringan.
Hanya saja karena berkaitan dengan keselamatan jiwa, peredaran obat palsu dalam jumlah kecil pun seharusnya tidak bisa ditoleransi. Dirinya juga tidak bisa memperkirakan siapa pelaku pemalsuan obat tersebut. “Bisa dari dalam atau luar negeri,” kata Maringan.Karena merupakan komoditas yang spesifik, konsumen kesulitan dalam membedakan antara obat asli dengan obat palsu. “Tidak dapat dibedakan dengan kasat mata dan harus melalui uji laboratorium,” kata Maringan. Dirinya menyarankan, agar konsumen membeli obat dari apotik yang resmi, walaupun di apotik resmi tidak menutup kemungkinan juga terdapat obat palsu. “Tapi kemungkinannya lebih kecil,” kata Maringan.Sedangkan Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi Surakarta, Singgih Hartono mengatakan bahwa pihaknya akan terus melakukan pembinaan kepada para anggotanya. “Kita dorong agar mereka membeli obat kepada distributor yang legal,” kata Singgih.Hanya sayangnya, hingga kini belum semua pengusaha di bidang farmasi telah bergabung pada asosiasi tersebut. Menurut Singgih, dari 158 perusahaan di bidang farmasi di Surakarta, baru 58 perusahaan yang telah bergabung.Dirinya merinci, untuk industri farmasi seluruhnya telah bergabung dengan GP Farmasi. Sedangkan Pedagang Besar Farmasi juga telah 90 persen bergabung, Apotik baru 40 persen yang bergabung, sedangkan toko obat baru 60 persen yang bergabung.
dari TEMPO Interaktif , Surakarta, 11 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar