Rabu, 27 Mei 2009

OBAT RACIKAN

Sediaan obat jadi terdiri dari kapsul, tablet, syrup, suppositoria salep, krim serta sediaan lainnya dalam kemasan utuh dari pabrik dan menjamin sediaan ini aman hingga ke end user diluar sediaan ini ternyata masih ada obat racikan yang di Indonesia masih merupakan hal yang biasa walaupun sebenarnya masih banyak pro dan kontra

Apakah Obat Racikan itu ?

Obat Racikan adalah bahan atau paduan bahan dengan dosis tertentu dapat mengobati pasien dengan sekali pemberian, tujuannya adalah untuk mempermudah pemberian kepada pasien atau beberapa campuran yang tidak tersedia dalam sediaan tetapi para dokter mempunyai kombinasi yang dirasa pas untuk indikasi tertentu, Biasanya resep racikan datang dari dokter spesialis anak (puyer) dan dokter spesialis kulit kelamin (salep/bedak). dan masih ada beberapa dokter lain yang masih menggunakan racikan ini

Pembuat Obat apapun skala produksinya harus memiliki standar pembuatan yang dikenal dengan cGMP (curent Good Manufacturing Practice atau di Indonesia dikenal dengan CPOB (Cara Pembuatan Obart yang Baik), standar ini sangat fokus akan keselamatan pasien, baik dosis, stabilitas produk, expire date, hygiene semua ini dijaga hingga pada pasien

Pertanyaannya adalah, mampukah apotek menerapkan standar CPOB dalam membuat resep racikan ?
Kalau mau jujur jawabannya adalah tidak. Pedoman penerapan CPOB tidak mungkin diterapkan di apotek. Dalam CPOB, semua obat harus diproduksi minimal dalam ruangan grey area. Merubah bentuk sediaan (seperti membuat puyer) analoginya sama dengan memproduksi. Karena sediaan oral maka dibutuhkan ruangan dengan standar grey area. Mustahil apotek memiliki grey area. Kalaupun ada biaya yang dikeluarkan sangat tidak ekonomis dan akan membuat biaya dari racikan ini sangat tinggi


apakah kombinasi obat dalam resep racikan bersifat rasional?

Jawaban sementara belum tentu. Artinya perlu dilihat dulu kasus per kasus. Mengapa saya pertanyakan demikian? Mudah sekali jawabannya. Bila kombinasi obat dalam resep racikan rasional, tidak mungkin para industriawan melewatkan begitu saja kesempatan mengembangkan produk. Industri farmasi lokal butuh produk baru. Untuk mengembangkan molekul baru belum mampu. Yang paling mudah adalah pengembangan formulasi. Kalau kombinasi obat dalam resep racikan bersifat rasional pasti industri farmasi tidak akan menyia nyiakan kesempatan itu. Dan Badan POM tentunya akan memberi ijin untuk memproduksi secara massal.

Melihat hal diatas kita harus mulai memilih obat apakah yang harus kita konsumsi dan kita sudah harus sedikit bergeser untuk menggunakan obat jadi dan harus perlahan meninggalkan budaya obat racikan di apotik dan mulai menggunakan obat jadi yang hingga saat ini sudah menyentuh angka puluhan ribu jenis




Nutwuri Andayana

Pharmacy RS Puri Indah

Senin, 25 Mei 2009

Praktek Bersama (Apoteker & Dokter)

Diskusi tentang fenomena apotek tanpa resep dan dokter dispensing mengerucut pada usulan dan pertanyaan dari sejawat Dr Budiarto sebagai berikut “ Yth. Apoteker, untuk menyelesaikan masalah ini, saya mengusulkan : jika seorang dokter (dispensing) melakukan praktek, mempunyai pasien lebih dari 30 perhari, harus mempunyai seorang apoteker, ..bagaimana pendapat bapak ? “. Usulan tersebut diajukan melalui tulisan
Menurut pendapat saya, usulan tersebut merupakan sebuah bentuk legalisasi atas praktek dokter dispensing di daerah yang terjangkau oleh apotek. Tapi dilain pihak bisa juga sebaliknya, yaitu legalisasi apotek tanpa resep. Apotek tertentu yang secara ekonomis telah sehat bisa saja menyediakan layanan dokter (cuma-cuma) untuk meresepkan obat yang dibutuhkan konsumen yang datang ke apotek untuk membeli obat daftar G.
Bila mengacu pada pendapat saya diatas, mohon maaf, saya kok merasakan bahwa istilah legalisasi tidak lebih dari upaya membenarkan sesuatu yang salah ya ? Isinya tetap namun bungkusnya diubah, jadi begitu bungkusnya terbuka isinya sami mawon. Iya kan…?
Esensi dokter menuliskan resep dan kemudian apotek menyediakan obat sesuai permintaan tertulis dokter dalam resep adalah untuk memastikan kualitas pelayanan kesehatan seorang pasien. Dokter memilihkan obat yang sesuai yang dibutuhkan pasien atas dasar diagnosa yang ditegakkan.

Apoteker di apotek bertanggungjawab untuk memeriksa kebenaran dan kerasionalan resep yang diterimanya. Pemisahan aktivitas tersebut merupakan cara yang efektif bagi proses penjaminan kualitas untuk sebesar-besarnya keuntungan pasien.
Kolaborasi dokter - apoteker dengan demikian merupakan hal yang mutlak diperlukan demi tercapainya kualitas layanan yang optimal bagi pasien. Dalam konteks ini agar bentuk kolaborasi yang terjadi benar-benar bisa bebas nilai maka kedua belah pihak, baik dokter maupun apoteker, haruslah sama sama tidak memiliki konflik kepentingan. Hal yang mudah ditulis dan diucapkan tapi belum tentu mudah dipraktekkan.

Sebagai misal bisa kita lihat contohnya di rumah sakit. Bila tidak ada program standarisasi obat bisa dibayangkan berapa besar gudang yang dibutuhkan oleh instalasi farmasi untuk menyimpan obat-obatan yang digunakan. Juga berapa besar modal kerja yang mesti dibutuhkan rumah sakit.

Program standarisasi obat di rumah sakit antara lain bertujuan untuk mengendalikan banyaknya jenis dan merek obat yang digunakan oleh rumah sakit. Pertanyaannya, apakah dalam proses standarisasi bisa dijamin bebas konflik kepentingan ?
Dalam konteks serupa, praktek dokter-apoteker dalam satu atap adalah miniatur dari rumah sakit. Demi efisiensi apotek, rasanya hampir tidak mungkin keduanya tidak saling “sepakat” untuk menentukan jenis dan jumlah obat yang harus disediakan oleh apotek.
Apakah ini salah ? Tidak selalu, sepanjang unsur objektifitas tetap dijunjung tinggi.
Dengan ilustrasi demikian nampaklah bahwa legalisasi dokter dispensing maupun apotek tanpa resep bukanlah penyelesaian terhadap kesemrawutan sistem yang ada. Salah satu penyebabnya adalah masih terbatasnya penerapan asuransi kesehatan di negara kita. Karena mayoritas masyarakat membayar sendiri biaya pengobatannya, maka disitulah sumber segala kesempatan berawal.
dari PORTAL APOTEKER Indonesia

Tradisi Menulis Resep Obat Perlu Dikoreksi


Kurangnya informasi terhadap bukti ilmiah baru tentang obat dan farmakoterapi tampaknya tetap menghantui kalangan professional kesehatan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Meskipun hampir semua jurnal biomedik dan buku-buku teks kedokteran telah tersedia dalam bentuk elektronik dan dengan mudah diakses melalui internet, namun kendala biaya, bahasa, perangkat komputer fasilitas akses internet tampaknya belum akan teratasi hingga 10-15 tahun ke depan. Bahkan tenaga kesehatan di daerah-daerah terpencil dikhawatirkan semakin jauh dari konsep-konsep farmakoterapi berbasis bukti yang mutakhir.
Ironisnya, kelemahan inilah yang dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang dan secara gencar membanjiri para dokter dengan informasi-informasi tentang obat mereka. Sayang, informasi ini umumnya unbalanced, cenderung misleading atau dilebih-lebihkan, dan berpihak pada kepentingan komersial.

“Penggunaan informasi seperti ini jika ditelan begitu saja akan sangat beresiko dalam proses terapi,” ungkap Prof dr Iwan Dwiprahasto MMedSc PhD, Senin (7/1) di ruang Balai Senat UGM.
Wakil Dekan Bidang Akademik & Kemahasiswaan FK UGM menyampaikan hal itu saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FK UGM. Ketua Komite Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan RSUP Dr Sardjito ini, mengucap pidato “Farmakoterapi Berbasis Bukti: Antara Teori dan Kenyataan”.
Diungkapkannya, keterbatasan informasi ini menjadikan off-label use of drug sangat marak dalam praktek sehari-hari. Off-label use adalah penggunaan obat di luar indikasi yang direkomendasikan. Obat yang sering digunakan secara off label antara lain antihistamin, antikonvulsan, antibiotika, serta obat flu dan batuk.

“Berbagai obat kardiovaskuler pun tergolong sangat sering digunakan secara off label, antara lain antiangina, antiaritmia, dan antikoagulan. Gabapentin yang hanya diindikasikan untuk adjunctive therapy pada partial seizures dan untuk postherpetic neuralgia ternyata telah digunakan secara off label untuk kondisi lainnya, termasuk diantaranya monoterapi pada epilepsy, restless leg syndrome, bipolar disorder, migraine, dan kejang karena putus alkohol,” ujar Iwan Dwiprahasto.

Suami dr Adi Utarini MSc MPH PhD, ayah Putri Karina Larasati lebih lanjut menerangkan berbagai penggunaan obat di luar dosis yang direkomendasikan, termasuk pula dalam katagori ini. Banyak praktek-praktek kefarmasian di apotek tergolong off label use.
“Menggeruskan tablet untuk dijadikan puyer, kapsul, bahkan sirup untuk sediaan anak, atau menggeruskan tablet atau kaplet untuk dijadikan saleb dank rim adalah bentuk off label use yang jamak ditemukan. Hal itu telah telah terjadi secara turun menurun, berlangsung selama puluhan tahun tanpa ada yang sanggup menghentikannya,” terang pria kelahiran Surabaya, 8 April 1962 ini.

Kata Prof Iwan, melestarikan penyimpangan, menikmati kekeliruan, dan mengulang-ulang kesalahan tampaknya sudah menjadi hedonisme peresepan. “Yang satu mengajarkan dan yang lain mengamini sambil menirukan. Itulah cara termudah untuk mendiseminasikan informasi yang tidak berbasis bukti,” kata Ketua Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) ini.
Menulis resep, kata Prof Iwan, seolah telah menjadi tradisi ritual yang tidak bisa dikoreksi. Tulisan yang sulit dibaca seolah menjadi bagian dari sakralisasi peresepan.

“Padahal bahaya mengintai dimana-mana. Resep yang sulit dibaca akan membuat pembacanya (asisten apoteker dan apoteker) mencoba menduga, menebak, dan akhirnya memaksakan diri untuk menterjemahkan dalam bahasa sendiri yang berdampak fatal jika keliru,” tambahnya lagi.
Terlalu banyak nama obat mirip satu dengan yang lain, tetapi isinya sama sekali berbeda. Losec® yang berisi omerprazole (untuk gangguan lambung) sering keliru dibaca sebagai sebagai Lasix® yang berisi furosemida (diuretika). Feldene® yang merupakan suatu AINS sering keliru terbaca sebagai Seldane® yang berisi terfenadine (suatu antihistamin). Sotatic® yang berisi metoclopramide (obat antimuntah) sering keliru dibaca menjadi Cytotec® (berisi misoprostol) yang dapat menyebabkan terjadinya aborsi jika diberikan pada ibu hamil.

Oleh karena itu, menurut Prof Iwan Dwiprahasto kebiasaan keliru menuliskan aturan resep 3 kali sehari (signa 3 dd 1) seharusnya mulai ditinggalkan dan diganti menjadi diminum tiap 8 jam. Pun dengan obat yang diberikan 2 kali sehari, seharusnya bisa ditulis tiap 12 jam dan seterusnya.

“Menulis resep dalam bentuk campuran (beberapa jenis obat digerus dijadikan satu sediaan puyer atau sirup) perlu untuk segera dikoreksi, karena termasuk off label use. Jika praktek-praktek primitive semacam itu tetap dipertahankan, maka keselamatan pasien (patient safety) tentu akan jadi taruhannya,” tandasnya.

Di akhir pidatonya, Prof Iwan mengajak para professional kesehatan untuk senantiasa mengacu pada bukti-bukti ilmiah terkini. “Keeping up to date” bukanlah sekedar slogan tapi merupakan prasyarat fundamental dalam implementasi Evidence Based Medicine (EBM).
“Memang tidak semua hasil uji klinik obat dapat langsung diterima sebagai bukti ilmiah yang valid. Hasil uji klinik obat tetap harus ditelaah dengan kritis untuk mengetahui validitas metode dan hasilnya,” tukas Direktur Clinical Epidemiology & Biostatistics Unit (CE&BU) FK UGM/RSUP Dr Sardjito 2000-2006 ini. (Humas UGM).

Peredaran Obat Palsu Tembus Jaringan Resmi Farmasi

Peredaran obat palsu di Jawa Tengah saat ini ditengarai sedang menggejala. Meskipun jumlahnya tidak terlampau besar, namun peredaran obat palsu mampu menembus jaringan farmasi yang resmi. Demikian diungkap oleh Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan Jawa Tengah, Maringan Silitonga.“Salah satu contohnya, kita sempat menemukan vaksin palsu di Karanganyar beberapa waktu lalu,” kata Maringan Silitonga.
Vaksin palsu tersebut diedarkan oleh salah satu perusahaan perdagangan besar farmasi berinisial D. Akibatnya, Balai POM Jawa Tengah terpaksa mencabut ijin operasi perusahaan tersebut semenjak dua minggu lalu untuk mempermudah proses pemeriksaan.Parahnya, obat yang paling sering dipalsukan merupakan obat yang hanya bisa dibeli dengan resep dokter. “Untuk obat bebas kita justru belum pernah menemukan,” kata Maringan. Yang menghawatirkan, obat palsu tersebut ternyata juga diedarkan oleh pedagang farmasi yang resmi.
Menurut Maringan, kemungkinan pedagang farmasi tersebut membeli obat-obatan dari distributor yang tidak resmi.“Mereka tergiur oleh harga yang lebih murah,” kata Maringan memperkirakan alasan perusahaan farmasi membeli obat palsu dari distributor yang tidak resmi. Peredaran akan semakin marak jika stok obat asli yang dipalsukan dipasaran sedang dalam keadaan kosong atau menipis. Maringan menyebutkan, jenis obat yang paling sering dipalsukan merupakan obat antibiotik, obat antibakteri dan penghilang nyeri dan rematik.Sayangnya, Maringan tidak menyebut jumlah peredaran obat palsu secara pasti. “Sebenarnya jumlahnya hanya sedikit,” kata Maringan.
Hanya saja karena berkaitan dengan keselamatan jiwa, peredaran obat palsu dalam jumlah kecil pun seharusnya tidak bisa ditoleransi. Dirinya juga tidak bisa memperkirakan siapa pelaku pemalsuan obat tersebut. “Bisa dari dalam atau luar negeri,” kata Maringan.Karena merupakan komoditas yang spesifik, konsumen kesulitan dalam membedakan antara obat asli dengan obat palsu. “Tidak dapat dibedakan dengan kasat mata dan harus melalui uji laboratorium,” kata Maringan. Dirinya menyarankan, agar konsumen membeli obat dari apotik yang resmi, walaupun di apotik resmi tidak menutup kemungkinan juga terdapat obat palsu. “Tapi kemungkinannya lebih kecil,” kata Maringan.Sedangkan Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi Surakarta, Singgih Hartono mengatakan bahwa pihaknya akan terus melakukan pembinaan kepada para anggotanya. “Kita dorong agar mereka membeli obat kepada distributor yang legal,” kata Singgih.Hanya sayangnya, hingga kini belum semua pengusaha di bidang farmasi telah bergabung pada asosiasi tersebut. Menurut Singgih, dari 158 perusahaan di bidang farmasi di Surakarta, baru 58 perusahaan yang telah bergabung.Dirinya merinci, untuk industri farmasi seluruhnya telah bergabung dengan GP Farmasi. Sedangkan Pedagang Besar Farmasi juga telah 90 persen bergabung, Apotik baru 40 persen yang bergabung, sedangkan toko obat baru 60 persen yang bergabung.
dari TEMPO Interaktif , Surakarta, 11 Mei 2009

Minggu, 10 Mei 2009

OBAT MULUT DAN TENGGOROKAN

OBAT MULUT DAN TENGGOROKAN

Berikut beberapa obat mulut dan tenggorokan yang beredar di Indonesia :

Povidon Iodida

Kegunaan:
Untuk kesehatan mulut terutama selama dan sesudah pencabutan gigi atau operasi pada mulut.
Untuk pengobatan infeksi ringan pada mukosa mulut dan faring.
Tidak boleh digunakan pada:
Anak dibawah 6 tahun
Penderita yang alergi terhadap Iodida
Penggunaan secara rutin pada penderita gangguan tiroid, wanita hamil dan menyusui
Hal yang perlu diperhatikan:Tidak boleh digunakan jangka panjang lebih dari 2 minggu, karena dapat diabsorpsi dan menimbulkan efek serius yang tidak diinginkan.
Efek yang tidak diinginkan:Iritasi mukosa, reaksi alergi, pemakaian jangka lama menimbulkan efek sistemik seperti: asidosis metabolik, gangguan ginjal.
Aturan pemakaian:Dewasa dan anak-anak diatas 6 tahun:
Tanpa diencerkan Gunakan povidon iodida 10 ml.
Diencerkan dengan air hangat dengan volume yang sama misalnya povidon iodida 10 ml diencerkan dengan air 10 ml. Kemudian dikumur selama 10 - 30 detik, dapat diulang sampal 4 kali sehari.

Heksetidin

Kegunaan:
Untuk infeksi ringan pada mulut dan tenggorokan, misalnya radang gusi, radang sekitar gigi, sariawan, radang selaput lendir mulut, radang tenggorokan dan radang amandel.
Sebagai pembilas sebelum dan sesudah pencabutan gigi
Menjaga kebersihan mulut sesudah menjalani operasi amandel dan operasi tenggorokan.
Tidak boleh digunakan pada:Penderita yang alergi terhadap komponen obat ini Efek yang tidak diinginkan: Walaupun jarang, tetapi dapat terjadi reaksi alergi.
Aturan pemakaian:Kumur sebanyak 15 ml tanpa diencerkan selama 30 detik, pada pagi dan malam hari. Lebih baik jangan bilas dengan air setelah kumur.

Mikonazol

Kegunaan:Untuk pengobatan kandidiasis pada rongga mulut.
Efek yang tidak diinginkan:Iritasi lokal dan reaksi alergi.
Aturan pemakaian:Dioleskan pada daerah mulut yang sakit 2 - 4 kali sehari
Dekualinum
Kegunaan:Keradangan ringan pada rongga mulut dan tenggorokan, seperti ginggivitis, periodontitis, faringitis, laringitis dan stomatitis, walaupun bukti klinis belum pasti.
Tidak boleh digunakan pada: Penderita yang alergi terhadap komponen obat ini.
Efek yang tidak diinginkan:Ulserasi dan nekrosis
Aturan pemakaian:Satu tablet dibiarkan melarut perlahan-lahan di dalam mulut. Ulangi setiap 3 - 4 jam, atau sesuai dengan petunjuk dokter. Jangan melebihi 8 tablet sehari.
Benzidamina-HCI
Kegunaan:Keradangan ringan pada rongga mulut dan tenggorokan, seperti ginggivitis, periodontitis, faringitis, laringitis dan stomatitis.
Hal yang perlu diperhatikan:Tidak dianjurkan untuk anak dibawah 5 tahun.
Efek yang tidak diinginkan:Iritasi pada lidah.
Aturan pemakaian:Tanpa diencerkan, kira-kira 1 sendok makan (15 ml) dikumur selama 1 menit, lalu dibuang. Sehari 2 -3 kali.
Gentian Violet
Kegunaan:Antiinfeksi topikal.
Hal yang Perlu diperhatikanTertelannya gentian violet dapat menyebabkan esofagitas, laringitas, dan trakheitas, bisa juga menyebabkan mual, muntah, diare dan nyeri perut.
Efek yang tidak diinginkan:Tertelannya gentian violet dapat menyebabkan esofagitis, laringitis dan trakheitis, bisa juga menyebabkan mual, muntah, diare dan nyeri perut.
(dari medicastore.com)